TULISAN APA SAJA

1.3.10

DAMPAK KEBAKARAN HUTAN

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dampak kebakaran yang sangat dirasakan manusia berupa kerugian ekonomis yaitu hilangnya manfaat dari potensi hutan seperti tegakan pohon hutan yang biasa digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan bahan bangunan, bahan makanan, dan obat-obatan, serta satwa untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani dan rekreasi. Kerugian lainnya berupa kerugian ekologis yaitu berkurangnya luas wilayah hutan, tidak tersedianya udara bersih yang dihasilkan vegetasi hutan serta hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan pencegah terjadinya erosi.
Dampak global dari kebakaran hutan dan lahan yang langsung dirasakan adalah pencemaran udara dari asap yang ditimbulkan mengakibatkan gangguan pernapasan dan mengganggu aktifitas sehari-hari. Peristiwa kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 – 1998 dan 2002 – 2005 menghasilkan asap yang juga dirasakan oleh masyarakat Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam serta mengancam terganggunya hubungan transportasi udara antar negara.
Kebakaran hutan dan lahan terjadi disebabkan oleh 2 (dua) faktor utama yaitu faktor alami dan faktor kegiatan manusia yang tidak terkontrol. Faktor alami antara lain oleh pengaruh El-Nino yang menyebabkan kemarau berkepanjangan sehingga tanaman menjadi kering. Tanaman kering merupakan bahan bakar potensial jika terkena percikan api yang berasal dari batubara yang muncul dipermukaan ataupun dari pembakaran lainnya baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kebakaran bawah (ground fire) dan kebakaran permukaan (surface fire). Dua tipe kebakaran tersebut merusak semak belukar dan tumbuhan bawah hingga bahan organik yang berada di bawah lapisan serasah seperti humus, gambut, akar pohon ataupun kayu yang melapuk. Apabila lambat ditangani kebakaran dapat terjadi meluas sehingga menimbulkan kebakaran tajuk (crown fire) dimana kebakaran ini merusak tajuk pohon. Akan tetapi tipe kebakaran terakhir ini dapat terjadi juga karena adanya sembaran petir.
Faktor kegiatan manusia yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan antara lain adanya kegiatan pembuatan api unggun di dalam hutan, namun bara bekas api unggun tersebut tidak dipadamkan. Adanya kegiatan pembukaan lahan dengan teknik tebang-tebas-bakar yang tidak terkontrol, biasa dilakukan oleh perusahaan HTI dan peladang berpindah ataupun menetap. Pembakaran secara disengaja untuk mendapatkan lapangan penggembalaan atau tempat berburu, membuang puntung rokok yang menyala secara sembarangan serta akibat penggunaan peralatan/mesin yang menyebabkan timbulnya api.
B. Maksud dan Tujuan
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memberikan tambahan informasi mengenai dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap ekosistem hayati dengan tujuan agar menjadi suatu referensi bagi pengelola hutan dalam upayanya menegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Kebakaran Hutan menurut SK. Menhut. No. 195/Kpts-II/1996 yaitu suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungannya.
Kebalaran hutan merupakan salah satu dampak dari semakin tingginya tingkat tekanan terhadap sumber daya hutan. Dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan atau lahan adalah terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, seperti terjadinya kerusakan flora dan fauna, tanah, dan air. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun walaupun frekwensi, intensitas, dan luas arealnya berbeda.
Secara umum kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu kondisi bahan bakar, cuaca, dan sosial budaya masyarakat. Kondisi bahan bakar yang rawan terhadap bahaya kebakaran adalah jumlahnya yang melimpah di lantai hutan, kadar airnya relatif rendah (kering), serta ketersediaan bahan bakar yang berkesinambungan. Faktor iklim berupa suhu, kelembaban, angin dan curah hujan turut menentukan kerawanan kebakaran. Suhu yang tinggi akibat penyinaran matahari langsung menyebabkan bahan bakar mengering dan mudah terbakar, kelembaban yang tinggi (pada hutan dengan vegetasi lebat) mengurangi peluang terjadinya kebakaran hutan, angin juga turut mempengaruhi proses pengeringan bahan bakar serta kecepatan menjalarnya api sedangkan curah hujan mempengaruhi besar kecilnya kadar air yangterkandung dalam bahan bakar.
Faktor sosial budaya masyarakat mempunyai andil yang paling besar terhadap adanya kebakaran hutan. Beberapa faktor penyebab kebakaran hutan antara lain :
1. Penggunaan api dalam kegiatan persiapan lahan
Masyarakat di sekitar kawasan hutan seringkali menggunakan api untuk persiapan lahan, baik untuk membuat lahan pertanian maupun perkebunan seperti kopi dan coklat. Perbedaan biaya produksi yang tinggi menjadi satu faktor pendorong penggunaan api dalam kegiatan persiapan lahan. Metode penggunaan api dalam kegiatan persiapan lahan dilakukan karena murah dari segi biaya dan efektif dari segi waktu dan hasil yang dicapai cukup memuaskan.
2. Adanya kekecewaan terhadap sistem pengelolaan hutan
Berbagai konflik sosial sering kali muncul di tengah-tengah masyarakat sekitar kawasan hutan. Konflik yang dialami terutama masalah konflik atas sistem pengelolaan hutan yang tidak memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat. Adanya rasa tidak puas sebagian masyarakat atas pengelolaan hutan bisa memicu masyarakat untuk bertindak anarkis tanpa memperhitungkan kaidah konservasi maupun hukum yang ada. Terbatasnya pendidikan masyarakat dan minimnya pengetahuan masyarakat akan fungsi dan manfaat hutan sangat berpengaruh terhadap tindakan mereka dalam mengelola hutan yang cenderung desdruktif.
3. Pembalakan liar atau illegal logging
Kegiatan pembalakan liar atau illegal logging lebih banyak menghasilkan lahan-lahan kritis dengan tingkat kerawanan kebakaran yang tinggi. Seringkali, api yang tidak terkendali secara mudah merambat ke areal hutan-hutan kritis tersebut. Kegiatan pembalakan liar atau illegal logging seringkali meninggalkan bahan bakar (daun, cabang, dan ranting) yang semakin lama semakin bertambah dan menumpuk dalam kawasan hutan yang dalam musim kemarau akan mengering dan sangat bepotensi sebagai penyebab kebakaran hutan.
4. Kebutuhan akan Hijauan Makanan Ternak (HMT)
Kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan tidak lepas dari ternak dan penggembalaan. Ternak (terutama sapi) menjadisalah satu bentuk usaha sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kebutuhan akan HMT dan areal penggembalaan merupakan salah satu hal yang harus dipenuhi. Untuk mendapatkan rumput dengan kualitas yang bagus dan mempunyai tingkat palatabilitas yang tinggi biasanya masyarakat membakar kawasan padang rumput yang sudah tidak produktif. Setelah areal padang rumput terbakar akan tumbuh rumput baru yang kualitasnya lebih bagus dan kandungan gizinya tinggi.
5. Perambahan hutan
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya sebagai agen penyebab kebakaran hutan adalah migrasi penduduk dalam kawasan hutan (perambah hutan). Disadari atau tidak bahwa semakin lama, kebutuhan hidup masyarakat akan semakin meningkat seiring semakin bertambahnya jumlah keluarga dan semakin kompleknya kebutuhan hidup. Hal tersebut menuntut penduduk untuk menambah luasan lahan garapan mereka agar hasil pertanian mereka dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
6. Sebab lain
Sebab lain yang bisa menjadi pemicu terjainya kebakaran adalah faktor kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya api. Biasanya bentuk kegiatan yang menjadi penyebab adalah ketidaksengajaan dari pelaku. Misalnya masyarakat mempunyai interaksi yang tinggi dengan hutan. Salah satu bentuk interaksi tersebut adalah kebiasaan penduduk mengambil rotan yang biasanya sambil bekerja mereka menyalakan rokok. Dengan tidak sadar mereka membuang puntung rokok dalam kawasan hutan yang mempunyai potensi bahan bakar melimpah sehingga memungkinkan terjadi kebakaran.
III. ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Kebakaran Hutan di Indonesia
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.
Kerusakan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini sangat signifikan karena karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global. Salju dan penutupan es telah menurun, suhu lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautan meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang sekarang berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1oC akan lebih panas menjelang tahun 2025. Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan banyak wilayah. Kondisi cuaca yang ekstrim yang menyebabkan kekeringan, banjir dan taufan, serta distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya dapat terjadi.
Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara.
Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.
Tulisan ini merupakan sintesa dari berbagai pengetahuan tentang hutan, kebakaran hutan dan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati yang dikumpulkan dari berbagai sumber sebagai salah satu tugas mata kuliah dan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan serta pengembangan ilmu pengetahuan bagi para pencinta lingkungan dan kehutanan.
B. Faktor Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan
Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).
Analisis terhadap arang dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan telah terbakar secara berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi secara alamiah selama periode iklim yang lebih kering dari iklim saat itu. Namun, manusia juga telah membakar hutan lebih dari 10 ribu tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka lahan pertanian. Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari masyarakat yang tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang baru bagi hutan Indonesia (Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999).
Menurut Danny (2001), penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan Timur adalah karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsuran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan srasahan. Namun menurut Saharjo dan Husaeni (1998), kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari 1 %.
Kebakaran hutan besar terpicu pula oleh munculnya fenomena iklim El-Nino seperti kebakaran yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998). Perkembangan kebakaran tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan penyebaran lokasi kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi hampir di seluruh propinsi, serta tidak hanya terjadi di kawasan hutan tetapi juga di lahan non hutan.
Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut:
1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.
2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.
3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.
Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH.
Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.
Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.
C. Dampak Kebakaran Hutan Pada Keaneragaman Hayati
1. Kerugian yang ditimbulkannya
Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan tersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).
Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.
2. Dampak Pada Keanekaragaman Hayati
Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman hayati. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.
Hutan alam mungkin memerlukan ratusan tahun untuk berkembang menjadi sistem yang rumit yang mengandung banyak spesies yang saling tergantung satu sama lain. Pada tegakan dengan pohon-pohon yang ditanam murni, lapisan permukaan tanah dan tumbuhan bawahnya diupayakan relatif bersih. Pohon-pohon muda akan mendukung sebagian kecil spesies asli yang telah ada sebelumnya. Pohon-pohon hutan hujan tropis perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat dipanen dan tidak dapat digantikan dengan cepat; demikian juga komunitasnya yang kompleks juga juga tidak mudah digantikan bila rusak.
Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas permukaan bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis yang ada di seluruh dunia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hutan hujan tropika merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati terpenting di dunia. Laju kerusakan hutan hujan tropika yang relatif cepat telah menyebabkan tipe hutan ini menjadi pusat perhatian dunia internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1.3 % dari luas bumi, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, meliputi : 10 % dari total jenis tumbuhan berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % dari total jenis reptilia, 17 % dari total jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi pusat perhatian dunia internasional dalam hal keanekaragaman hayatinya.
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002/2003, total daratan yang ditafsir adalah sebesar 187,91 juta ha kondisi penutupan lahan, baik di dalam maupun di luar kawasan, adalah : Hutan 93,92 juta ha (50 %), Non hutan 83,26 juta ha (44 %), dan Tidak ada data 10,73 juta ha (6 %). Khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi penutupan lahannya adalah sebagai berikut : Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non hutan 39,09 juta ha (29 %) dan Tidak ada data 8,52 juta ha (7 %). (BAPLAN, 2005)
Kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98 saja telah menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar (Tacconi, 2003). Kebakaran hutan setiap tahunnya telah memberikan dampak negatif bagi keanekaragaman hayati. Berbagai jenis kayu kini telah menjadi langka. Kayu eboni (Dyospyros ebenum dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), dan beberapa jenis meranti (Shorea spp.) adalah contoh dari beberapa jenis kayu yang sudah sulit ditemukan di alam. Selain itu, puluhan jenis kayu kurang dikenal (lesser-known species) saat ini mungkin telah menjadi langka atau punah sebelum diketahui secara pasti nilai/manfaat dan sifat-sifatnya.
Setiap species mempunyai kecepatan tumbuh yang berbeda-beda, ada yang tergolong fast growing spesies terutama untuk jenis-jenis pioner, tetapi ada yang termasuk dalam slow growing spesies. Untuk keberlanjutan pemanenan jangka panjang jenis pohon yang lambat pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S. seminis, S. leavis, Vatica sp., Koompassia sp. dan Eusideroxylon zwageri, maka diperlukan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kepunahan dalam jenis tertentu akibat kebakaran ataupun pembakaran hutan. Jenis-jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir dari suksesi hutan, karena hanya tumbuh di hutan-hutan yang sudah memiliki kanopi yang rapat. Jenis-jenisnya tersebar luas sekali, tumbuh di hutan-hutan dari dataran rendah sampai kaki pegunungan di seluruh Asia Tenggara dan sub-benua India. Suku Dipterocarpaceae merupakan bagian dari kayu keras yang paling berharga di dunia. Selama beberapa dekade, hutan-hutan Dipterocarpaceae di Indonesia sering mengalami kebakaran baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja yang berdampak langsung dengan hilangnya sejumlah spesies flora dan fauna tertentu. Kehilangan keanekaragaman hayati secara umum juga berarti bahwa spesies yang memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum mereka ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan kimia yang bermanfaat yang dikandung oleh spesies liar mungkin hilang untuk selamanya. Kekayaan spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis mungkin mengandung bahan kimia dan obat-obatan yang berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan dirinya secara kimiawi dan ini merupakan sumber bahan obat-obatan yang penting.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Analisis dampak kebakaran hutan masih dalam tahap pengembangan awal, pengetahuan tentang ekosistem yang rumit belum berkembang dengan baik dan informasi berupa ambang kritis perubahan ekologis berkaitan dengan kebakaran sangat terbatas, sehingga dampak kebakaran hutan terhadap keanekaragaman hayati secara real sulit diperhitungkan secara tepat. Meskipun demikian dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan menimbulkan dampak yang cukup besar bagi lingkungan hidup terutama bagi keanekaragaman hayati, bahkan dampak tersebut dapat sampai ke generasi lingkungan hidup selanjutnya.
B. Saran
1. Kita harus siap siaga dalam menjaga hutan untuk mengurangi dampak yang terjadi dari kebakaran hutan, sehingga kerugian terhadap kerusakan alam dapat di minimalisasi.
2. Kita harus membuang kebiasaan-kebiasaan buruk tentang kelalean kita terhadap penggunaan api di dalam hutan untuk membuka lahan yang tidak kekontrol dan lainya yang bias menyebabkan kebakaran hutan.

KEBAKARAN HUTAN

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia termasuk kedalam 7 negara dengan bioderfesity tertinggi di Dunia, sehingga di dalamnya terdapat berbagai keaneka ragaman dari dalam air sampai ke udara, dan sebagian besar terdapat di dalam Hutan. Hutan memiliki fungsi penting seperti fungsi hidrologi, fungsi produksi, fungsi rekresiasi, fungsi pertahanan dan keamanan dan masih banyak lagi dari fungsi hutan lainya. Melihat peranan penting hutan maka usaha untuk melestarikan hutan sangat penting untuk keberlangsungan dari fungsi-fungsi tersebut. Salah satu yang menyababkan terganggunya fungsi hutan bila terjadi kebakaran hutan. Kebakaran hutan mengakibatkan kerusakan yang besar di bandingkan dengan kerusakan yang disebabkan oleh faktor lainya, kebakaran hutan dapat berbagai macam baik yang disebabkan oleh manusia maupun oleh faktor alam. Penyebab kebakaran dari faktor manusia adalah penyebab yang paling besar karena adanya kebutuhan akan lahan untuk pemukiman dan perladangan, yang sering terjadi adalah bila membutuhkan lahan garapan alternatif untuk membuka lahan paling mudah dan cepat adalah menggunakan cara pembakaran, selain dari ulah manusia faktor dari alam juga merupakan salah satu penyebab kabakaran alah faktor alam, di Indonesia yang meiliki dua musim sangat mudah terjadi kebakaran hutan karena musim kemarau panjang yang menyebabkan banyaknya berkurangnya kadar air pada hutan sehingga terjadi gesekan-gesekan yang terjadi karena adanya pergerakan yang disebabkan oleh angin menimbulkan percikan api ditambah dengan berkurangnya kadar air yang kurang dari 30% maka menyebabkan kebakaran hutan. Dalam mencegah kebakaran hutan maka diperlukan suatu manjemen penanggulangan kebakaran hutan, salah satu caranya dengan melakukan kegiatan penilaian bahaya kebakaran hutan. Metoda Penilaian Kebakaran Hutan telah banyak dikembangkan untuk mengetahui tingkat bahaya kebakaran hutan. Indks Kekeringan Keetch-Byram (KBDI) yang diterapkan di Kalimantan Timur. Menurut Deeming (1995) system ini dinilai dapat diandalkan sebagai model yang diusulkan dalam sistem penilaian bahaya kebakaran. Keuntungan menggunakan KBDI terletak pada cara pengumpulan data yang semuanya dapat diperoleh di stasiun Klimatologi yang berupa data-data tentang curah hujan, curah hujan tahunan, curah hutan harian dan temperature harian maksimum, selainitu KBDI dapat di hitung secara manual dan persamannya di program kedalam computer.
B. Maksud dan Tujuan
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memberikan tambahan informasi mengenai Pengaruh Iklim / Cuaca terhadap kebakaran hutan dengan tujuan agar menjadi suatu referensi bagi pengelola hutan dalam upaya mencegah terjadinya kerusakan hutan yang lebih lanjut dan dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. 
II.TINJAUAN PUSTAKA
Chandleret.al.(1983) menyatakan bahwa cuaca dan iklim mempengaruhikebakaran hutan dengan bebrbagai cara yang saling berhubungan yaitu :
1. klim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia.
2. Iklim menentukan jangka waktu dan kekerasan musim kebakaran.
3. Cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar.
4. Cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan.
Menurut Fuller (1991), karena cuaca sangat mempengaruhi bagaimana, dimana dan kapan kebakaran hutan dapat terjadi, pengendali kebakaran menyebutnya sebagai cuaca kebakaran (fire weather) yaitu sifat-sifat cuaca yang mempengaruhi terjadinya kebakaran.Seperti cuaca panas yang kering disertai dengan angin ribut, badai dan petir akanmenyebabkan kebakaran.Faktor-faktor cuaca seperti suhu udara, kelembaban, stabilitas udara serta kecepatan dan arah angin secara langsung mempengaruhi terjadinya kebakaran. Faktor-faktor lain seperti jangka musim yang lama berpengaruh pada pengeringan bahan bakar,sehingga secara tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang akan mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan.Iklim pada masing-masing wilayah geografi menentukan tipe bahan bakar dan panjangnya musim kebakaran atau waktu dalam setahun dimana sering terjadi kebakaran.Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa pola, lamanya dan intensitas dari musim kebakaran dari suatu daerah tertentu merupakan fungsi utama dari iklim tetapi sangat dipengaruhi oleh sifat bahan bakar hutan. Selain pola cuaca kebakaran hutan yang bersifat tahunan, berulang maupun musiman mencerminkan bahan bakar dan cuaca, musim kebakaran yang parah juga dihubungkan dengan musim kering yang berskala dan cenderung untuk terjadi dalam suatu siklus.Cuaca api didefinisikan sebagai kondisi cuaca yang mempengaruhi awal terjadi kebakaran, sifat-sifat kebakaran dan pengendalian kebakaran. Musim kebakaran adalah jangka waktu tertentu dimana kebakaran banyak terjadi, menjalar dan mengakibatkan kerusakan yang cukup parah sehingga memerlukan organisasi pengendali kebakaran (Brown dan Davis, 1973). 
III. RUMUSAN MASALAH DAN ANALISA MASALAH
Kebakaran terjadi karena beberapa masalah salah satunya terjadi karena adanya pengaruh dari iklim, faktor-faktor iklim yang berpengaruh kepada kebakaran hutan yaitu:
1. Suhu udara
Suhu bahan bakar adalah salah satu faktor yang menentukan. Suhu dicapai dengan penyerapan radiasi matahari secara langsung dan konduksi dari lingkungan termasuk udara yang meliputinya. Suhu udara merupakan faktor yang selalu berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahannya untuk terbakar (Chandler et. al. 1983).Temperatur udara bergantung pada intensitas panas atau penyinaran matahari. Daerah-daerah dengan temperatur tinggi akan menyebabkan percepat pengeringnya bahan bakar dan memudahkan terjadinya kebakaran (Dirjen PHPA, 1994). Menurut Young dan Giesse (1991), suhu udara merupakan faktor cuaca penting yangmenyebabkan kebakaran. Suhu udara secara konstan merupakan faktor yang berpengaruh pada suhu bahan bakar dan kemudahan bahan bakar untuk terbakar.Menurut Saharjo (1997), pada pagi dengan suhu yang cukup rendah sekitar 20oC ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada satu titik. Sementara siang hari dengan suhu 300 – 35oC, sedangkan kadar air bahan bakar cukup rendah (< 30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin.Bahan bakar merupakan bahan-bahan organik yang mudah terbakar dan merupakan salah satu faktor yang menentukan bahan bakar untuk terbakar dan sangat menentukan kebakaran. Suhu bahan bakar dicapai melalui penyerapan radiasi matahari secara langsung serta kondisidari lingkungan termasuk udara dari sekitar bahan bakar ( thoha 1998 ). Masing-masing jenis bahan bakar memiliki suhu tertentu yang merupakan suhu kritis sehingga bahan tersebut akan terbakar. Suhu udara merupakan factor yang selalu berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahannya untuk terbakar. Suhu udara tergantung intensitas panas atau penyinaran matahari. Daerah dengan suhu tinggi akan menyebabkan cepat terjadinya pengeringan bahan bakar dan memudahka terjadinya kebakaran. Hal ini terutama terjadi pada musim kemarau yang panjang. 2. Kelembaban Udara Kelembaban udara berasal dari evaporasi air tanah, badan air dan transpirasi tumbuh-tumbuhan. Ketika kandungan air di udara sama dengan besarnya penguapan air,maka terjadilah kondisi jenuh udara. Umumnya kandungan air di udara lebih kecil dari penguapan yang terjadi, dan kondisi ini disebut udara tak jenuh. Para ahli metereologi menggambarkan kelembaban udara sebagai Relative Humidity (kelembaban relatif) yang didefinisikan sebagai rasio antara kandungan air dalam udara pada suhu tertentu dengan kandungan air maksimum yang dapat dikandung pada suhu dan tekanan yang sama.Kelembaban nisbi atau kelembaban udara di dalam hutan sangat mempengaruhi pada mudah tidaknya bahan bakar yang ada untuk mengering, yang berarti mudah tidaknya terjadi kebakaran (Dirjen PHPA, 1994).Menurut Suratmo (1985), cuaca atau iklim merupakan faktor yang sangat menentukan kadar air bahan bakar hutan, terutama peranan air hujan. Di dalam musim kering kelembaban udara sangat menentukan kadar air bahan bakar. Menurut Saharjo (1997), kelembaban relatif yang tinggi di pagi hari yaitu sekitar 90– 95 % ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada satu titik. Sementara siang hari dengan kelembaban relative 70 – 80 % dan kadar air bahan bakar cukup rendah (< 30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin (Saharjo, 1997).Kelembaban udara berasal dari evaporasi dari bahan-bahan air, tanah serta transpirasi tumbuh-tumbuhan. Di dalam hutan kelembaban udara akan sangat mempengaruhi mudah tidaknya bahan bakar mengering dan terbakar, hal ini terjadi karena kelembaban udara dapat menentukan jumlah kandungan air di dalam bahan bakar. 3. Curah Hujan Curah hujan mempengaruhi kelembaban dan kadar air bahan bakar. Bila kadar air bahan bakar tinggi akibat curah hujan yang tinggi maka sulit untuk terjadinya kebakaran. Namun sebaliknya bila curah hujan rendah disertai suhu tinggi serta didukung oleh kemarau yang panjang menyebabkan kebakaran akan mudah berlangsung, di karenakan kadar air pada bahan bakar akan berkurang atau menjadi < 30% menyebabkan bahan bakar mudah terbakar dan panjangnya musim kering maka mebuat sering terjadinya kebakaran hutan. 4. Angin Menurut Chandler et. al. (1983), angin merupakan salah satu faktor penting dari faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan. Angin bisa menyebabkan kebakaran hutan melalui beberapa cara. Angin membantu pengeringan bahan bakar yaitu sebagai pembawa air yang sudah diuapkan dari bahan bakar. Angin juga mendorong dan meningkatkan pembakaran dengan mensuplay udara secara terus menerus dan peningkatan penjalaran melalui kemiringan nyala api yang terus merembet pada bagian bahan bakar yang belum terbakar.Lebih lanjut Deeming (1995) mengemukakan bahwa tiupan angin, akanmemperbesar kemungkinan membesarnya nyala api dari sumbernya (korek api, obor, kilat dan sebagainya). Sekali nyala api terjadi, maka kecepatan pembakaran, lama penjalarandan kecepatan perkembangan api akan meningkat dengan makin besarnya tiupan angin. Sedangkan menurut Suratmo (1985), angin menentukan arah dan menjalarnya api dan mempunyai korelasi positif dengan kecepatan menjalarnya api, tetapi besar kecilnya api ditentukan oleh kadar air bahan bakar.Angin merupakan salah satu faktor yang penting dari komponen-komponen cuaca yang mempengaruhi kebakaran ( Chandler et al. 1983 ). Angin mempengaruhi kebakaran hutan melalui beberapa cara diantaranya angin membantu pengeringan bahan bakar yaitu sebagai pembawa air yang sudah diuapkan dari bahan bakar. Angin juga mendorong dan meningkatkan kemampuan dengan memasok secara terus menerus , dalam hal ini oksigen yang merupakan salah satu komponen pemicu terjadinya kebakaran, selain itu angin menentukan arah penjalaran api dan mempunyai korelasi positif terhadap kecepatan penjalarannya. Namun besar kecilnya api ditentukan kadar air bahan bakar ( Affan 2002 ). Peran angin dalam mempercepat penjalaran api dapat berlangsung dengan adanya perbedaan tekanan udara akibat perbedaan pemanasan. 5. Radiasi Matahari Waktu mempengaruhi kebakaran hutan yaitu melalui proses pemanasan bahan bakar yang dipengaruhi oleh radiasi matahari yang berfluktuasi dalam dalam sehari semalam. suhu maksimum dicapai pada tengah hari sedangkan suhu minimum tercapai pada saat menjelang matahari terbenam dan dini hari (Schroeder dan Buck, 1970). Fuller (1991) menyatakan bahwa perbedaan pemanasan matahari pada permukaan bumi berperan dalam variasi iklim yang memberikan kontribusi pada bahaya kebakaran hutan. Penyinaran matahari, selain memanaskan permukaan bumi juga memanaskan lapisan udara di bawahnya. Pemanasan udara menimbulkan perbedaan tekanan udara yang menyebabkan terbentuknya pola pergerakan angin sehingga angin akan bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Variabel utama yang mengontrol kadar air bahan bakar pada bahan bakar mati adalah curah hujan, kelembaban relatif dan suhu. Angin dan penyinaran matahari merupakan faktor penting pada pengeringan bahan bakar, dimana pengaruhnya pada perubahan suhu bahan bakar dan suhu dan kelembaban relatif pada udara yang berbatasan langsung dengan permukaan bahan baker. Dari faktor-faktor di atas maka kebakaran hutan tindak hanya di sebabkan oleh manusia tapi faktor-faktor dari alam itu sendiri ditambah dengan sumber api dari alam itu sendiri seperti gunung meletus, sambaran halilintar maupun dengan adanya gesekan antara pohon yang satu dengan pohon yang lain yang lama-lama menimbulkan panas dan dapat membakar bahan bakar yang telah berkurang kadar airnya kurang dari 30% sehingga mudah terbakar.   IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kebakaran hutan terjadi karena adanya campur tangan Manusia maupun terpengararuh oleh faktor-faktor dari alam itu sendiri yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan seperti pengaruh berkurangnya kadar air pada bahan bakar yang disebabkan oleh suhu udara, Kelembaban udara, curah hujan, angin, radiasi matahari dan masih banyak yang lainya maka hutan dapat terbakar karena adanya sumber api baik dari gunung meletus maupun dari gesekan-gesekan atara pohon yang kering ataupun disebabkan oleh sambaran halilintar di dukung dengan bahan bakar yang sudah siap (kadar air kurang dari 30%) menyebabkan hutan mudah terbakar. Tapi faktor yang paling utama terjadinya kebakaran adalah kelalean dari manusia baik di sengaja maupun tidak. B. Saran 1. Untuk menanggulangi kebakaran hutan yang terjadi maka kita harus tetap siap siaga mengantisipasi terjadinya kebakaran supaya dapat segera di atasi 2. Kita harus mengurangi kebiasan-kebiasan buruk dari cara pembukaan lahan yang tidak sesuai dengan membakar hutan dan kebiasan yang lain yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan, karean atanpa adanya campur tangan manusia saja dapat terjadi kebakaran hutan.